Senin, 21 Mei 2012

PARADIGMA ETIKA DALAM PERSPEKTIF SOCRATES

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
              Di dalam permasalahan filsafat dapat diketahui bahwa pelaku filsafat adalah akal dan hati. Pertentangan atau kerja sama antara akal dan hati itulah pada dasarnya isi sejarah filsafat. Memang pusat kendali kehidupan manusia terletak di tiga tempat, yaitu indera, akal, dan hati. Namun akal dan hati itulah yang paling menentukan.
              Dalam sejarah filsafat kelihatan akal pernah menang, pernah kalah; hati pernah berjaya, juga pernah kalah; pernah juga kedua-duanya sama-sama menang. Di antara keduanya, dalam sejarah telah terjadi pergumulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia.[1]
              Yang dimaksud akal disini ialah akal yang logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati ialah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada. Akal itulah yang menghasilkan pengetahuan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik; iman termasuk di sini.
              Adapun buah pemikiran dari filsafat itu sendiri diantaranya adalah hal yang menyangkut tentang permasalahan etika. Karena itulah etika menjadi salah satu cabang dari filsafat yang di dalamnya menyangkut tentang masalah seputar moralitas (norma-norma) dan teori tentang masalah moral lainnya.
              Masalah etika itu sendiri merupakan cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang yang dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika itu pula merupakan persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya, baik individu maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia dan dirinya.[2]
              Oleh karena etika merupakan salah satu cabang dari kajian filsafat, maka sangatlah perlu untuk mengupas tuntas tentang permasalahan etika yang bersandarkan pada ruang lingkup filsafat. Sehingga dapat diketahuilah tentang pandangan para pemikir atau para ahli filsafat terutama dari pandangan Socrates tentang etika. Karena Socrates merupakan salah satu filosof yang arah pandangannya berbicara tentang etika.
              Selain itu pula, perlu sekali untuk diketahui tentang siapa itu Socrates dan riwayat hidupnya serta jalan pemikirannya. Karena sangat perlu untuk mengetahui bagaimana seorang filosof itu berfikir sebelum kita mempelajari apa buah pikirannya. Apalagi Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Malahan jika ditilik benar-benar, Socrates secara langsung tidak mengajarkan filosofi, melainkan ia hidup dengan berfilosofi.
              Oleh karena Socrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali untuk mengetahui dengan sahih apa sebenarnya ajarannya. Dan ajaran-ajarannya itu hanya dikenal dari catatan-catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Dengan demikian, maka menjadi penting untuk mempelajari ajaran Socrates yang mana tidak langsung dituliskan secara langsung oleh Socrates sendiri, tetapi melalui murid-muridnya.
            Namun, yang lebih menarik dari Socrates yaitu pernyataannya yang menyatakan bahwa ia tidak pernah mengaku mempunyai kearifan dan kebijaksanaan, ia hanya mengaku sebagai penggemar kearifan atau amatir kebijaksanaan, bukan professional dan mengambil untuk kebendaan dari apa yang ia gemari seperti kaum sofis pada zamannya.
            Dan perlu juga untuk diketahui bersama mengenai paradigma etika tersebut dalam perspektif Socrates. Yang mana Socrates mengatakan bahwa budi ialah tahu, itulah intisari dari etika Socrates yang menjadi latar belakang permasalahan yang akan diangkat dalam pembahasan makalah ini.




B.   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan etika ?
2.      Bagaimana pandangan Socrates tentang etika ?

C.   Tujuan Penulisan
              Ada pun tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya ialah untuk mengetahui tentang definisi mengenai etika dari berbagai sumber dan ahli yang berbeda, serta untuk mendapatkan gambaran mengenai etika tersebut dalam perspektif Socrates.





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Etika
              Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat.[3] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).[4] Dari pengertian pengetahuan kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
              Adapun arti etika dari segi terminologi (istilah) yaitu sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Ahmad Amin misalnya mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[5]   
              Menurut Soegarda poerbakawatja etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan.[6]
              Berikutnya dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
              Selanjutnya Frankena, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Charris Zubair mengatakan bahwa etika adalah sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral.[7]
              Dari beberapa definisi etika tersebut di atas dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan, dan sebagainya. Selain itu etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai ilmu yang disebutkan itu sama-sama memiliki obyek pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Peranan etika dalam hal ini tampak sebagai wasit atau hakim, dan bukan sebagai pemain. Ia merupakan konsep atau pemikiran mengenai nilai-nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.[8]
              Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan yang baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan anthropocentris, yakni berdasar pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.

2.2  Filsafat Etika
              Imanuel Kant, terkenal dengan filsafat kritisnya yang lebih banyak berbicara tentang filsafat moral dan etika. Dia merupakan tokoh penting karena dia bisa disebut sebagai pemersatu antara filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Tapi ternyata usahanya untuk menyatukan keduanya terpecah kembali sehingga sekarang kita kenal filsafat positivisme, logis dan idealisme. Dan dalam Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, filsafat Yunani bisa dibagi menjadi 3 bagian yaitu logika, fisika, dan etika. Logika bersifat a priori tapi fisika dan etika memiliki unsur-unsur a priori dan empiris. Ilmu fisika apriori empiris ini disebut ilmu alam (Naturlehre) sedangakan ilmu etika apriori empiris disebut ilmu kesusilaan (Sittenlehre) dan Metafisika kesusilaan (Metaphysik der Sitten).
              Filsafat etika adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas masalah seputar moralitas (norma-norma), prinsip-prinsip moral, dan teori-teori moral. Misalnya teori hati nurani, teori rasa moral, teori keputusan moral, teori tentang kebaikan mutlak dan teori tentang kebaikan relatif, teori tentang kejahatan, teori kriteria moral, teori tentang asal mula manusia harus bermoral, dan lain-lain.
              Ada beberapa teori tentang nilai etika (baik dan buruk). Pertama, teori nilai dari islam. Dalam islam, nilai etika direntang menjadi lima kategori, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk, buruk sekali (wajib, sunah, mubah, makruh, haram). Nilai dalam islam ditentukan oleh Tuhan. Kedua, teori baik dan buruk dari hedonisme mengajarkan bahwa sesuatu dianggap baik bila mengandung hedone (kenikmatan, kepuasan) bagi manusia. Teori ini telah ada sejak zaman Yunani kuno. Ketiga, teori dari vitalisme, baik-buruk ditentukan oleh ada atau tidak adanya kekuatan hidup yang dikandung oleh objek yang dinilai. Manusia yang kuat, ulet, cerdas, itulah manusia yang baik. Manusia yang mengandung daya hidup yang besar, itulah manusia yang baik. Keempat, teori dari utilitarianisme menyatakan bahwa yang baik ialah yang berguna (utility = kegunaan). Utilitarianisme terbagi menjadi dua, yaitu utilitarianisme pribadi dan utilitarianisme sosial. Bagi Bentham, utilitarianisme merupakan perkembangan hedonisme. Baginya, etika harus memperhitungkan jumlah kenikmatan dikurangi jumlah penderitaan tentang hasil perbuatan, itulah yang menentukan nilai perbuatan itu. Menanggung derita dalam melakukan kebaikan adalah tidak baik. Jadi, harus diperhitungkan terlebih dahulu, banyak mana antara kenikmatan dan penderitaan yang terdapat dalam perbuatan itu. Yang kelima yaitu teori dari pragmatisme, yaitu suatu aliran yang segolongan darah dengan utilitarianisme. Prinsip yang diajarkan oleh aliran ini ialah yang baik adalah yang berguna secara praktis dalam kehidupan. Tokoh utamanya ialah Charles P. Peirce, William James, John Dewey, dan Scott Schiller. Peirce adalah yang mula-mula mengumumkan pragmatisme dan dikembangkan oleh James. Bagi James, ukuran kebenaran suatu teori ialah kegunaan praktis teori itu, bukan dilihat secara teoritis. Bagi Pierce, untuk mengerti suatu pikiran cukuplah kita memastikan tindakan apa yang dapat dihasilkan oleh ide itu.[9]

2.3  Aliran-Aliran Etika
              Dari uraian di atas tersebut, dapatlah diketahui mengenai beberapa aliran dalam etika beserta pandangannya. Yang mana aliran-aliran penting dalam etika tersebut diantaranya ialah:
1.      Aliran Etika Naturalisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu diperoleh dengan menurutkan panggilan natural (fitrah) kejadian manusia sendiri.
2.      Aliran Etika hedonisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan hedoni (kenikmatan dan kelezatan).
3.      Aliran Etika utilitarisme, yaitu aliran yang menilai baik dan buruknya manusia ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat bagi manusia (utility = manfaat)
4.      Aliran Etika idealisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab-musabab lahir, tetapi haruslah didasarkan atas perinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi.
5.      Aliran Etika vitalisme, yaitu aliran yang nilai dari baik-buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada atau tidaka adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.
6.      Aliran Etika tiologis, yaitu aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik-buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai atau tidak sesuainya dengan perintah tuhan (Theos=Tuhan).[10] 

2.4  Riwayat Socrates
              Socrates Lahir di Athena pada tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM. Bapaknya adalah tukang pembuat patung, sedangkan ibunya seorang bidan pada permulaannya, socrates mau menuruti jejak bapaknya menjadi tukang pembuat patung pula, tetapi ia berganti haluan. Dari membentuk batu jadi patung, ia mmembentuk watak manusia. Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sofisme di Athena. Pada hari tuanya, socrates melihat kota tumpah darahnya mulai mundur, setelah mencapai puncak kebesaran yang gilang gemilang.
            Socrates terkenal sebagai orang yang berbudi baik, jujur, dan adil. Cara penyampaian kepada para pemuda mengunakan metode tanya jawab. Oleh sebab itu, ia memperoleh banyak simpati dari para pemuda di negerinya. Namun, ia juga kurang disenangi oleh orang banyak dengan menuduhnya sebagai orang yang merusak moral para pemuda negerinya. Selain itu, ia juga di tuduh menolak dewa-dewa atau tuhan-tuhan yang telah di akui negara.[11]
            Socrates juga dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa alas kaki dan berkelilingi mendatangi masyarakat Athenaberdiskusi soal filsafat. Dia melakukan ini pada awalnya didasari satu motif religius untuk membenarkan suara gaib yang didengar seorang kawannya dari Oracle Delphi  yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates. Merasa diri tidak bijak dia berkeliling membuktikan kekeliruan suara tersebut, dia datangi satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak oleh masyarakat  pada saat itu dan dia ajak diskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan. Metode berfilsafatnya inilah yang dia sebut sebagai metode kebidanan. Dia memakai analogi seorang bidan yang membantu kelahiran seorang bayi dengan caranya berfilsafat yang membantu lahirnya pengetahuan melalui diskusi panjang dan mendalam. Dia selalu mengejar definisi absolut tentang satu masalah kepada orang-orang yang dianggapnya bijak tersebut meskipun kerap kali orang yang diberi pertanyaan gagal melahirkan definisi tersebut. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut berdasar satu pengertian bahwa dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.
            Peran Socrates dalam mendobrak pengetahuan semua itu meniru pekerjaan ibunya sebagai seorang bidan dalam upaya menolong kelahiran bayi, akan tetapi ia berperan sebagai bidan pengetahuan. Tekhnik dalam upaya menolong kelahiran (bayi), pengetahuan itu di sebut majayutike (kebidanan) yaitu dengan cara mengamat-amati hal-hal yang konkret dan beragam coraknya tetapi pada jenis yang sama. Kemudian unsur-unsur yang berbeda di hilangkan sehingga tinggallah unsur yang sama dan bersifat umum, itulah pengetahuan sejati atau pengertian sejati sangat penting dalam mencapai keutamaan moral. Barang siapa yang mempunyai pengertian sejati berarti memiliki kebajikan (arete) atau keutamaan moral berarti pula memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.
            Seperti halnya kaum sofis, Socrates mengarahkan perhatiannya kepada manusia sebagai objek pemikiran filsafatnya. Berbeda dengan kaum Sofis, yang setiap mengajarkan pengetahuan selalu memungut bayaran, tetapi Socrates tidak memungut bayaran kepada murid-muridnya. Maka, ia kemudian oleh kaum Sofis sendiri dituduh memberikan ajaran barunya, merusak moral para pemuda, dan menentang kepercayaan negara. Kemudian ia ditangkap dan akhirnya dihukum mati dengan minum racun pada umur 70 tahun yaitu pada tahun 399 SM. Pembelaan Socrates atas tuduhan tersebut telah ditulis oleh Plato dalam karangannya, yaitu Apologia.[12]
           
2.5  Jalan Pemikiran Socrates
            Ajaran bahwa semua kebenaran itu relatif telah menggoyahkan teori-teori sains yang telah mapan, mengguncangkan keyakinan agama. Ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan dalam kehidupan. Inilah sebabnya Socrates harus bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak semua kebenaran itu relatif, ada kebenaran umum yang dapat dipegang oleh semua orang. Sebagaian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuanya. Sayangnya, Socrates tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya kita peroleh dari tulian murid-muridnya terutama Plato.
            Bartens, di dalam sejarah filsafat Yunani menjelaskan bahwa ajaran Socrates itu dutujukan untuk menentang ajaran relativisme sofis. Ia ingin menegakkan sains dan agama. Kalau dipandang sepintas lalu, Socrates tidaklah banyak berbeda dengan orang-orang sofis. Sama dengan orang sofis, Socrates memulai filsafatnya dengan bertolak dari pengalaman sehari-hari. Akan tetapi, ada perbedaan yang amat penting antara orang sofis dan Socrates. Socrates tidak meminta biaya untuk orang-orang yang belajar kepadanya.
                Menurut pendapat Socrates ada kebenaran obyektif, yang tidak bergantung pada saya atau pada kita. Ini memang pusat permasalahan yang dihadapi oleh Socrates. Untuk membuktikan adanya kebenaran obyektif, Socrates menggunakan metode tertentu. Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan. Ia menganalisis pendapat-pendapat. Setiap orang mempunyai pendapat mengenai salah dan tidak salah, misalnya ia bertanya kepada negarawan, hakim, tukang, pedagang, dan sebagainya. Menurut Xenophon, ia bertanya tentang salah dan tidak salah, adil dan tidak adil, berani dan pengecut dan lain-lain.
            Socrates selalu menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis, dan dengan jawaban-jawaban lebih lanjut dan menarik kensekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban-jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena menghasilkan konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain, lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan jawaban-jawaban lain, dan begitulah seterusnya. Sering terjadi percakapan itu berakhir dengan aporia ( kebingungan ). Akan tetapi, tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang dianggap berguna. Metode yang biasa digunakan Socrates biasanya disebut dialektika yang berarti bercakap-cakap atau berdialog. Metode Socrates dinamakan diaelektika karena dialog mempunyai peranan penting didalamnya.[13]
            Menurut filsafat Socrates pula, bahwa segala sesuatu kejadian yang terjadi di alam adalah karena adanya “ akal yang mengatur ” yang tidak lalai dan tidak tidur. Akal yang mengatur itu adalah Tuhan yang pemurah. Dia bukan benda, hanya wujud yang rohani semata-mata. Pendapat Socrates tentang Tuhan lebih dekat kepada akidah tauhid. Dia menasehatkan supaya orang menjaga perintah-perintah agama, jangan menyembah berhala dan mempersekutukan Tuhan.

2.6. Pandangan Etika Socrates
            Menurut Socrates, bahwasanya pengertian dari etika atau intisari dari etika yaitu budi yang berarti tahu. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Sebagai contoh, apabila seseorang telah mengetahui tentang kebenaran adanya kenikmatan surga dan siksa neraka, maka sudah pastilah ia akan mengikuti jalan ajaran Tuhannya untuk memperoleh kenikmatan tersebut. Dan hanya orang-orang yang tidak mempercayai adanya kenikmatan surga dan siksa nerakalah yang enggan untuk melaksanakan aturan dari Tuhannya yang dapat membawanya kepada kenikmatan surga tersebut. Akan tetapi ia malahan melakukan tindakan yang dilarang oleh Tuhannya dan meniggalkan perintah dari Tuhannya.
            Sedangkan paham etika Socrates selanjutnya yaitu kelanjutan daripada metode-metodenya. Selanjutnya, siapa yang mengetahui hukum mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari.
            Dari ucapan itu nyatalah bahwa ajaran etika Socrates intelektuil sifatnya. Selain dari itu juga rasionil. Apabila budi adalah tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas maunya sendiri, berbuat jahat. Kedua-duanya, budi dan tahu bersangkut-paut. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka “jahat” hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang kesasar adalah korban daripada kekhilafannya sendiri. Kesasar bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas maunya sendiri.
            Menurut Socrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan segala barang yang ada itu ada tujuannya, begitu juga hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga dengan manusia. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
            Dari pandangan etika yang rasionil itu Socrates sampai kepada sikap hidup, yang penuh dengan rasa keagamaan. Menurut keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik dari berbuat zalim. Sikap itu diperlihatkannya dengan kata dan perbuatannya, dalam pembelaannya di muka hakim. Socrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut wujud yang tertentu. Hal itu katanya adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan dipercayakannya segala-galanya yang tak dapat diduga oleh otak manusia. Jiwa manusia itu dipandangannya bagian daripada Tuhan yang menyusun alam. Sering pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasai sebagai suara dari dalam, yang menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang disebutnya daimonion. Bukan dia saja yang begitu katanya. Semua orang dapat mendengar suara daimonion itu dari dalam jiwanya, apabila ia mau.
            Juga dalam segi pandangan Socrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semuanya itu menunjukan kebulatan ajarannya, yang menjadikan ia seorang filosof yang terutama seluruh masa.[14]


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
              Filsafat etika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas masalah seputar moralitas (norma-norma), prinsip-prinsip moral, dan teori-teori moral. Misalnya teori hati nurani, teori rasa moral, teori keputusan moral, teori tentang kebaikan mutlak dan teori tentang kebaikan relatif, teori tentang kejahatan, teori kriteria moral, teori tentang asal mula manusia harus bermoral, dan lain-lain.
              Adapun filsafat etika ini memiliki aliran-aliran yang diantaranya yaitu aliran etika naturalisme, aliran etika hedonisme, aliran etika utilitarisme, aliran etika idealisme, aliran etika vitalisme, dan aliran etika teologis. Dimana aliran-aliran tersebut memiliki pandangan yang berbeda dalam menanggapi masalah etika tersebut.
              Selanjutnya Socrates mengungkapkan bahwasanya intisari dari etika itu adalah budi, yang berarti tahu. Ajaran etika yang diberikan oleh Socrates itu sifatnya intelektual dan rasional. Karena cara penyampaian yang disampaikan oleh Socrates berdasarkan pada hal-hal yang masuk akal pada umumnya dan dalam upaya penegakan sains dengan cara yang berdialog. Sebagai contoh ungkapan Socrates yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya baik, hal itu sebagaimana dengan segala barang yang ada itu pasti ada tujuannya, begitu juga dengan hidup manusia. Contohnya saja tujuan dari meja, yaitu berupa kekuatan dan kebaikan yang dihasilkan oleh meja tersebut. Begitu juga dengan manusia, yang mana keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
              Sebagaimana para sofis, disini Socrates memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman keseharian dan kehidupan kongkret. Perbedaannya terletak pada penolakan Socrates terhadap relatifisme yang pada umumnya dianut para sofis. Menurut Socrates tidak benar bahwa yang baik itu baik bagi warga negara Athena dan lain lagi bagi warga negara Sparta. Yang baik mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia, dan harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Pendirinya yang terkenal adalah pandangannya yang menyatakan bahwa keutamaan (arete) adalah pengetahuan, pandangan ini kadang-kadang disebut intelektualisme etis. Dengan demikian, Socrates telah menciptakan suatu etika yang berlaku bagi semua manusia.

3.2  Saran
              Perkataan adalah senjata, dan tindakan adalah keuntungan/kemenangan, dan hakikat manusia senantiasa belajar dari alam dan kembali ke alam untuk belajar. Kebenaran akan datang ketika kesalahan itu ada (sebab dan akibat).
              Proses berfikir dengan manusia yang lain itu selalu berada di garis yang sama, dan ketika pincang maka timbullah yang dinamakan pertengkaran. Dan ketika kita belajar filsafat, tidak cukup hanya dengan makalah ini saja, dan tidak cukup hanya mempelajarinya sehari dan semalam saja, melainkan dengan berdiskusi/dialektika berorganisasi. Insan yang baik adalah insan yang berguna dalam kehidupan untuk makhluk ciptaan Tuhan. Maka keharusan bagi kita sebagai makhluk yang berfikir adalah belajar berorganisasi dan berjuang.


[1] .  Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra, (Bandung; Rosda Karya, 2009), h. 47.
[2] .  Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta, Lesfi, 2001), h. 91.
[3] .  Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta; Rajawali Pers, 1980), h. 13.
[4] .  W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1991, h. 278.
[5] .  Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; Rajawali Pers, 2010), h. 90.
[6] .  Zaenal Muti’in Bahaf, Filsafat Umum, (Serang; Keiysa Press, 2009), h. 219.
[7] .  Abuddin Nata, op.cit., h. 91.
[8] .  Ibid., h. 90.
[9] .  Ahmad Tafsir, op.cit., h. 40.
[10] .  Poerwantana, Seluk beluk Filsafat islam, (Bandung; Rosda karya, 1994), h. 10.
[11].  Atang Abdul Hakim, Filsafat umum, (Bandung; Pustaka setia, 2008), h. 117.
[12] .  Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2005), h. 49.
[13] .  Ahmad Tafsir, op.cit., h. 54.
[14] .  Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta; Tintamas, 1986), h. 83.

1 komentar: